Tuesday 29 November 2016

Cinta, Save Game Football Manager, dan Chapecoense

Mencintai sesuatu yang telah karib pada keseharian kita adalah suatu napas yang tak bisa dilepaskan dari benak secara gampang. Ketika berbicara tentang cinta yang karib, pikiran saya terlempar pada game yang paling saya cintai, Football Manager.
Saya mulai bermain Football Manager 13 hingga seri terbaru. Seri yang paling lama saya mainkan adalah Football Manager 15. Sekitar dua tahun saya bermain pada satu save game yang sama dan waktu dalam game telah berada di tahun 2034. Bagi sebagian orang, bermain FM sampai tahun 2030-an sangat aneh dan tidak menarik, karena semua pemain asli yang aktif bermain sekarang telah pensiun di FM pada tahun itu. Semua pemain merupakan regen. Penikmat FM seperti saya adalah pecinta regen dan sangat antusias bermain di tahun 2030-an atau lebih. 
Bagi saya, bermain dikelilingi regen-regen ini benar-benar terasa seperti menyelam ke dunia lain. Dunia yang asing tetapi saya dituntut untuk beradaptasi dan mengenal semua pemain-pemain fiksi itu.
Saya tidak bercanda jika saya mengatakan telah mengenal para pemain fiksi tersebut. Pemain-pemain amerika latin yang telah terendus bakatnya oleh tim kami, saat mereka hijrah ke Eropa dan bermain untuk klub besar, lantas saya berkata, "oh, sudah ada klub besar yang menemukan bakatnya." Atau jika saya melihat nama-nama fiksi itu melintas di berita, tanpa melihat profil, saya bisa menebak di klub mana pemain fiksi ini bermain. Semua nama-nama fiksi yang ada di save game itu telah terekam di otak saya. Sama seperti anda mengenali Messi, Ronaldo, Ozil, ataupun Lord Bendtner.
Suatu ketika, keadaan memaksa saya untuk menginstal ulang laptop. Bergegaslah saya memindahkan data-data penting. Salah satunya save game FM 17. Seusai penginstalan, saya baru sadar kalau saya lupa memindahkan data save game FM 15 yang telah menjadi bagian kehidupan saya (literally, karena hampir setiap hari save game ini saya mainkan). Saya benar-benar menyesal dengan kebodohan saya tersebut. Save game terlama yang pernah saya mainkan musnah dalam sekejap. Tanpa sisa. Saya coba jelajahi, barangkali ada tertinggal di direktori yang tidak terformat, namun usaha saya sia-sia. Ada saya temukan di google drive save game tahun 2028, tetapi saya tidak berminat lagi memainkannya, karena wonderkid kesayangan saya di tahun 2034 belum ada saat itu. Jelas ada perbedaan besar karena pemain yang ada di tahun-tahun berikutnya tak akan sama lagi. QPR yang menjadi raja eropa belum tercipta di tahun 2028 itu. 
Maka, hijrahlah saya ke Football Manager 17. Dalam perjalanan karier saya bersama Manchester United di FM 17, banyak keseruan yang saya dapat, karena dalam pengalaman bermain FM, sudah beberapa tahun saya tidak menyentuh klub Inggris. Tetapi, seseru apa pun FM 17, tidak akan mampu kenangan Fm 15 saya lupakan. Bagaimana saya menjadi legenda klub SC Heerenveen dan memberikan gelar liga Belanda serta Liga Champion perdana bagi klub. Atau, tidak akan terkikis di ingatan saya bagaimana seorang regen bernama Jefferson Arias muda mempermalukan Vincent Kompany dalam sebuah gol spektakulernya. Atau, tidak akan hilang dari ingatan saya tentang perjuangan Julio Franco yang menembus skuad utama di umur 18 tahun dan meraih Ballon d'Or di umur 21 tahun. Semua itu tersimpan di ingatan, tetapi tidak akan berputar kembali di keseharian saya.
Perasaan yang sama tampaknya dirasakan pula oleh penghuni ruang ganti klub Chapecoense, begitu juga dengan supporter mereka yang tak pernah absen menumbalkan waktu mereka beberapa jam menonton tim mereka bermain, yang kini, mungkin tak akan mereka saksikan lagi dalam beberapa waktu.
Sebuah tragedi terjadi, melibatkan seluruh pemain dan staff Chapecoense yang berada dalam penerbangan menuju Kolombia. Tujuh tahun yang lalu Chapecoense masih berada di Seri D, lalu mencapai Seri A dua musim lalu. Dan secara mengejutkan tahun ini tampil di kompetisi benua Copa Sudamericana. Dalam jadwalnya, seharusnya mereka akan menghadapi Atletico Nacional, dan mulai membayangi akankah mereka merayakan gemuruh kemenangan ataukan meratapi kekalahan. Tetapi penentuan dua kali sembilan puluh menit di lapangan sepakbola itu pupus oleh kecelakaan pesawat yang terjadi kemarin.
Bertebaran di beranda facebook saya bagaimana dunia bereaksi tentang tragedi yang menanamkan kesedihan mendalam, baik itu dari fans yang mengenal Chapecoense luar dalam, ataupun bagi pecinta sepakbola yang baru kemarin tahu eksistensi klub ini. Semua merasakan sesak ketika mendengar hampir seluruh skuad tim bercorak hijau itu menemui ajal dalam satu peristiwa yang tak diinginkan itu.
Pada fanspage klub bisa ditemui sebuah video yang  menggambarkan kesibukan pemain bercakap satu sama lain. Entah apa yang mereka cakapkan. Mungkin tentang persiapan mengenai pertandingan final yang akan mereka jalani. Bisa pula tentang makanan enak apa saja yang ada di Kolombia. Atau, oleh-oleh apa yang akan mereka bawa ke Brazil nanti. Atau lagi, membahas apa reaksi yang akan mereka tunjukkan ketika menjuarai Copa Sudamericana nanti. Dan ketika saya sadar apa yang mereka omong dan pikirkan saat itu tidak akan terwujud esok harinya, hati saya menjadi rapuh. Bukan bermaksud alay, tetapi mata saya sempat berkaca-kaca, walaupun tak sempat mendarat ke kasur yang sedang saya duduki ketika mengetik tulisan ini. 
Dada saya makin di cengkeram rasa sesak ketika melihat video terbaru yang dipublish fanspage Chapecoense berisi selebrasi pemain dan staff yang merayakan sebuah kemenangan di ruang ganti. Tampak ramai dan gempita ruangan itu.






Tetapi video perayaan itu terlihat sangat kontras ketika saya melihat sebuah foto yang menggambarkan bagaimana pemain Chapecoense yang tidak ikut ke Kolombia, sedang terduduk kaku, mungkin sedang teringat bagaimana keriuhan ruang ganti itu yang kini tak bisa mereka rasakan lagi. Hanya menyisakan senyap.




Pada akhirnya pemain yang masih diberi kesempatan memperkuat Chapecoense ataupun supporter yang mencintai klub ini, harus mengikhlaskan fragmen yang hilang dari tubuh klub itu. Tetapi untuk memberikan ruang kepada 'waktu' itu bukanlah perkara mudah. Akan selalu membayang bagaimana suasana latihan yang menyenangkan dan interaksi yang hangat antar pemain di klub. Teman, rekan, saudara yang pernah berada pada satu titik perjuangan itu telah tiada. Bagian dari cinta yang karib itu sudah pergi. 
Apa yang dirasakan pemain dan supporter Chapecoense tidak terlalu jauh persamaannya dengan apa yang saya rasakan terhadap save game FM 15 saya, hanya beda intensitas dan objek yang dicintai saja. Tetapi bagaimana kami mencintai, adalah satu bagian yang sama. Dan pada akhirnya kami harus move on. Hijrah menuju apa yang masih tersisa dan layak untuk diperjuangkan.




, , , ,

No comments:

Post a Comment