Friday 9 December 2016

Perjalanan di Dalam Bus

Aku mendapati diriku tengah duduk di dalam bus, tanpa mengetahui ke mana tujuanku, dan apa yang akan aku lakukan setelah sampai di sana. Di kiri dan kananku hanyalah orang asing. Bukan kerabat, kenalan, bahkan wajah mereka belum pernah kulihat.
Kucoba bangkit dan berjalan ke depan (tempat dudukku berada di bangku paling belakang). Aku melihat beberapa orang yang kukenal. Entah mengapa teman SMA dan kuliahku berada di bus yang sama, dan mereka mengobrol seakan kenalan yang tak bersua dalam jangka waktu cukup lama. Aku tidak menyapa mereka dan terus berjalan ke depan.
Bus itu ramai, namun tak sesak. Ukuran bus itu luas, sehingga orang-orang yang berdiri tidak berdesak-desakkan dan aku masih bisa berjalan di antara kerumunan mereka. Aku berpapasan dengan seseorang yang kukenal di masa lalu. Bukan seorang teman. Hanya kenalan. Kami tak pernah berbicara sebelumnya, karena berada di sekolah yang berbeda. Dia teman dari temanku. Tetapi saat kami bertemu lagi, rasanya tak ada beban di bibirku untuk mengobrol dengannya. Pembicaraan singkat, sekadar, "Wah tinggal di mana sekarang?" dan semacamnya. Pembicaraan ringan. Bodohnya, aku tidak menanyakan kontaknya dan meneruskan perjalananku ke depan.
Bagian depan bus terasa lebih ekslusif daripada bagian lain. Bagian itu terlihat seperti sebuah ruangan. Luas. Kulihat beberapa orang mengenakan jersey biru duduk di bangku yang melingkar. Aku sempat heran, karena orang-orang yang kulihat itu adalah para pemain Manchester City. Dan ketika kulirik pakaian yang kukenakan, aku sedang mengenakan jersey Manchester United. Di ruang sebelah, para pemain Manchester United juga sedang berkumpul. Dan saat mereka melihatku, mereka merangkul dan mengajakku duduk. Seakan aku adalah bagian dari tim.
Aku terus berjalan ke depan. Dekat supir.
Bus kami memasuki jalan yang diapit tebing dan pohon-pohon tinggi dan berdaun lebat. Cahaya tak mampu menembus dengan sempurna. Tempat itu agak gelap. Entah karena supir kami mengantuk, atau dia sedang ingin merasakan kematian, dia bawa bus itu ke dalam jurang. Walaupun jurang itu tak terlalu dalam, tetapi aku yakin jika kami jatuh ke dasarnya, akan ada korban jiwa yang terenggut. Bus itu belum menyentuh dasar, masih mengawang, dan aku bertindak seolah berada di dalam game, menginginkan kejadian saat itu lenyap dan kembali ke check point sebelumnya. Tetapi harapanku tidak terkabul. Bus itu masuk jurang. Bus terbelah dan tak ada teriakan yang terdengar dari belakang, seakan orang-orang sudah paham jika mati, ya mati saja. Tak usah ribut.
Aku tidak memerhatikan apa yang terjadi dengan penumpang lain. Aku keluar dari bus bersama beberapa orang yang berhamburan. Tak ada kendaraan selain bus kami di jalanan itu. Tempat itu semakin gelap. Di depan, seakan tak ada ujung, yang kulihat hanyalah gulita. Di belakang pun begitu. Orang-orang berlari ke arah belakang. Aku pun mengikuti mereka.
Lama kami berlari, orang-orang mulai berpencar. Aku menyadari ada sebuah jalan kecil. Aku memasukinya, dan beberapa orang mengikutiku. Yang lainnya, mereka tetap berjalan menuju kegelapan.
Saat kuterus berjalan, kami tiba di gang kecil. Lalu aku masuk ke sebuah rumah. Ternyata, rumah yang kumasuki itu adalah milik teman kuliahku. Dia segera menyuruhku keluar, karena katanya, jika Mamanya menemukan temannya berada di sini, maka kami akan dibunuh. Dirasuk perasaan merinding, aku pun keluar terbirit-birit.
Entah jalan apa yang sudah kulalui, tiba-tiba aku berada di salah satu Indom*ret dekat kampus. Aku masuk ke dalamnya, berniat membeli roti dan beberapa makanan. Disambar rasa kaget, di sana aku bertemu dengan teman sekolah dulu. Dia seorang wanita. Seharusnya aku kaget karena dia tidak kuliah di kampus yang sama denganku. Ini aneh karena dia berada di sini. Tetapi entah mengapa aku tidak mempermasalahkannya dan mengobrol santai dengannya.
Ketika kami sama-sama hendak pulang, hujan turun deras. Aku mengambil sebuah payung (entah, aku juga tidak mengerti kenapa tiba-tiba ada payung di tanganku), dan memayungi temanku itu seakan aku adalah pelayannya. Temanku ini tinggal di sebuah apartemen. Apartemennya tinggi, puncaknya tidak bisa kulihat dari bawah. Aku tidak tahu temanku ini tinggal di lantai berapa. Lantai 100, mungkin.
Saat di masuk ke gedung itu, dia berpamitan dan mengucapkan terimakasih kepadaku. Aku tersenyum mengangguk.
Dan saat aku hendak berjalan ke kosku, akhirnya aku sadar, bahwa aku sedang bermimpi.
Mataku terbuka.

**

Akhir-akhir ini aku sering bermimpi aneh. Dan dalam 2 minggu terakhir, mimpi yang melibatkan teman SMA dan kuliah sudah 4 kali kualami. Dan isi mimpinya absurd-absurd semua. Dan tujuanku menulis cerita ini pun tidak kalah gajenya dengan mimpi-mimpi itu.